Sabtu, 18 September 2010

KEBIJAKAN NEGARA TERHADAP KEARIFAN LOKAL

Bicara soal kearifan lokal tentu kaitannya dengan budaya oleh sebab itu saya ingin memulai tulisan ini pada persoalan moralitas yang merupakan suatu problem atau penyebab kebiasaan masyarakat semakin terpinggirkan. Membincang suatu moralitas dalam konteks kekinian sering kita terjebak pada asumsi bahwa Negara adalah satu-satunya institusi yang berhak bicara tentang moralitas sambil melupakan bahwa ada institusi lain yang bisa menjadi modal utama dalam membangun gsnerasi bangsa yang bermoral . salah satunya adalah kebudayaan, sepakat atau tidak harus diakui bahwa dalam proses pembangunan nasional tidaklah berpijak pada tradisi sendiri sebagai modal sosial dalam membentuk karakter bangsa, malah meng hancurkannya. Setelah hancur kemudian menginpor tata nilai moderenitas dari kuar yang sesungguhnya tidak sesuai dengan ruang batin masyarakat Indonesia.


Campur tangan Negara ikut menentukan bagai mana budaya lokal ikut terpinggirkan, justru dominan adalah Budaya-budaya “unggul” hasil infor. Diferensiasi budaya tinggi dan budaya rendah merupakan kongstruksi yang dibangun oleh Negara, semua kebudayaan yang dianggap menyempal dari “budaya resmi” (baca:moderenitas) dipinggirkan karena dianggap melahirkan sesuatu tidak benar, kolot, ketinggalan zaman dan sebagainya. Kalau Negara sudah mencampuri hal-hal seperti ini maka tentunya akan terjadi pemvekuan-pembekuan, yang mana benar dan yang mana tidak benar. Sehingga masyarakat mendapati ruang tradisi lokal dimiliki yang semakin sempit dalam mengapresiasi dinamika sosial. Semisal tradisi rappungang atau tudangsipulung yang biasanya menjadi forum atau media komumikasi masyarakat bugis Makassar dihabisi oleh resim orde baru dengan institusi bentu Negara seperti LKMD, MUSBANGDES, dan lain-lain. Bourdieou mendefinisikan medan budaya sebagai institusi, nilai, kategori, perjanjian, dan penamaan yang menysun sebuah hirarki objektif, yang kemudian memproduksi dan member “ wewenang” pada berbagai bentuk wacana dan aktifitas indipidu. Kewenangan dalam bertindak yang dimiliki seseorang dalam sebuah” medan” (field), ditentukan oleh posisinya dalam medan itu. Medan budaya ini kemudian yang mengarahkan seorang individu pada sebuah tindakan yang factual sadar atau tidak, masyarakat memiliki kearifan-kearifan lokal sebagai self de fense dari gelombang tradisi luar yang merusak termasuk soal moralitas. 

Setiap komunitas mempunyai perangkat tersendiri dalam yang oleh fiere boudieu disebut habitus. Perangkat ini akan dilakoni oleh masyarakat secara sukarela dan tanpa sadar karena dianggap bahwa ia termasuk dalam perangkat hokum, pengetahuan, tradisi dan kategorisasi makna tersebut sebagai sebuah konvensi sosial. Habitus beroperasi berdasarkan sebuah logika prakterk yang diatur berdasar sistem klasifikasi bawa sadar. (maskulin/ peminim, baik/buruk, moral/amoral, trendi/kuno dan lain-lain). Seorang dalam sebuah komunitas akan patuh dalam sebuah sistem dalam tata nilai yang dibangun, diproduksi karena menganggap ia adalah bagian dari sistem tersebut, dengan kata lain seorang anak muda dari kampong Makassar jika disadari konsep tentang palsafah sipakatau, sipakainga, sipakalabbiri dibanding konsep declaration of human right, meskipun subtansinya hamper sama. 

Karena moralitas bermain pada wilayah nalar, maka selayaknya Negara menyediakan ruang yang cukup bagi tradisi lokal dalam memainkan dalam membangun ruang kesadaran cultural literacy, sebuah ruang pengetahuan tentang sistem dalam berbagai konteks budaya. Tindakan atau apa yang secara actual dilakukan seseorang, merupakan bentukan dari dan sekaligus respon terhadap aturan-aturan dan konvensi-konvensi budaya. Seseorang akan berlaku dan bertindak sesuai logika praktek yang tersusun dalam tema generative dalam sebuah komunitas, misalnu term siri’, istilah ini bukanlah istilah yang tanpa makna dan kuasa, namun siri’ adalam skema alam bawa sadar yang dilakoni oleh komnitas etnis bigis Makassar dalam ruang logikanya sendiri dengan kata lain tradisi menjaga kehormatan, kejujuran, akan menjadi kebiasaan yang di kendalikan oleh alam bawa sadar tampa disuruh oleh Negara.

Persoalan moralitas dinegeri yang kita cintai haruslah ditangani secara bijak. Membangun karakter masyarakat bukanlah persoalan mudah, banyak hal yang perlu dilibatkan. Jadi persoalan moralitas tidak hanya diselesaikan dengan lembaran tes regulasi. Namun ada yang lebih perlu diserisi oleh pengambil kebijakan;

  •  Revitalisasi peran-peran kebudayan dengan member ruang yang seluas-luasnya terhadap tradisi lokal.
  • Regulasi yang dikeluarkan oleh Negara tetap mengadopsi tata nilai yang lahir dari tradisi masyarakat Indonesia, dengan demikian tradisi kita yang sarat dengan kearifan-kearifan lokal tidak lagi dianggap pemuas dahaga kaum turis manca Negara namun kearifan tersebut menjadi basis struktur kebijakan Negara.
  • Negara harus senang tiasa sadar dan waspada bahwa neoliberalisme bukan hanya bergerak dalam konteks imperialism ekonomi politik, tapi selalu dibarengi hegemoni pengetahuan dan kebudayaan, Apa lagi arti sebuah Negara ketika tradisinya musnah tinggal debu.
“Katakan Kebenaran Walaupun  Pahit”

Di Tulis Oleh : Ahmad Passallo