KONGFERCAB IV PC> Makassar FMBT Bantaeng

Foto bersama dengan kanda Sulhan Yusuf sebagai narasumber pada dialog pembukaan acara KONGFERCAB IV dengan tema KONSEP DAN STRATEGI ORGANISASI PERJUANGAN DI ERA KONTEMPORER

Dialog Antara FMBT, KOSKER PPB, dan DPRD Bantaeng

Dari Kiri ke Kanan, Darwis ST, Mustamin, Supriadi Gani, dan Muh. Nasrun Jamal

Keluarga Besar FMBT Bantaeng

Keluarga besar Forum Mahasiswa Butta Toa Bantaeng

Rapat Pengurus Besar FMBT

Suasana rapat Pengurus Besar Forum Mahasiswa Butta Toa Bantaeng

Acara Makan Bersama

Acara makan bersama di rumah Ketua Umum Forum Mahasiswa Butta Toa Bantaeng Di Tino, Kec. Bissappu, Kab. Bantaeng

Sabtu, 18 September 2010

Desain Kartu Anggota FMBT Bantaeng Cabang Makassar


Tampak Depan

Tampak Belakang


Di Desain Oleh : Abd. Razak

KEBIJAKAN NEGARA TERHADAP KEARIFAN LOKAL

Bicara soal kearifan lokal tentu kaitannya dengan budaya oleh sebab itu saya ingin memulai tulisan ini pada persoalan moralitas yang merupakan suatu problem atau penyebab kebiasaan masyarakat semakin terpinggirkan. Membincang suatu moralitas dalam konteks kekinian sering kita terjebak pada asumsi bahwa Negara adalah satu-satunya institusi yang berhak bicara tentang moralitas sambil melupakan bahwa ada institusi lain yang bisa menjadi modal utama dalam membangun gsnerasi bangsa yang bermoral . salah satunya adalah kebudayaan, sepakat atau tidak harus diakui bahwa dalam proses pembangunan nasional tidaklah berpijak pada tradisi sendiri sebagai modal sosial dalam membentuk karakter bangsa, malah meng hancurkannya. Setelah hancur kemudian menginpor tata nilai moderenitas dari kuar yang sesungguhnya tidak sesuai dengan ruang batin masyarakat Indonesia.


Campur tangan Negara ikut menentukan bagai mana budaya lokal ikut terpinggirkan, justru dominan adalah Budaya-budaya “unggul” hasil infor. Diferensiasi budaya tinggi dan budaya rendah merupakan kongstruksi yang dibangun oleh Negara, semua kebudayaan yang dianggap menyempal dari “budaya resmi” (baca:moderenitas) dipinggirkan karena dianggap melahirkan sesuatu tidak benar, kolot, ketinggalan zaman dan sebagainya. Kalau Negara sudah mencampuri hal-hal seperti ini maka tentunya akan terjadi pemvekuan-pembekuan, yang mana benar dan yang mana tidak benar. Sehingga masyarakat mendapati ruang tradisi lokal dimiliki yang semakin sempit dalam mengapresiasi dinamika sosial. Semisal tradisi rappungang atau tudangsipulung yang biasanya menjadi forum atau media komumikasi masyarakat bugis Makassar dihabisi oleh resim orde baru dengan institusi bentu Negara seperti LKMD, MUSBANGDES, dan lain-lain. Bourdieou mendefinisikan medan budaya sebagai institusi, nilai, kategori, perjanjian, dan penamaan yang menysun sebuah hirarki objektif, yang kemudian memproduksi dan member “ wewenang” pada berbagai bentuk wacana dan aktifitas indipidu. Kewenangan dalam bertindak yang dimiliki seseorang dalam sebuah” medan” (field), ditentukan oleh posisinya dalam medan itu. Medan budaya ini kemudian yang mengarahkan seorang individu pada sebuah tindakan yang factual sadar atau tidak, masyarakat memiliki kearifan-kearifan lokal sebagai self de fense dari gelombang tradisi luar yang merusak termasuk soal moralitas. 

Setiap komunitas mempunyai perangkat tersendiri dalam yang oleh fiere boudieu disebut habitus. Perangkat ini akan dilakoni oleh masyarakat secara sukarela dan tanpa sadar karena dianggap bahwa ia termasuk dalam perangkat hokum, pengetahuan, tradisi dan kategorisasi makna tersebut sebagai sebuah konvensi sosial. Habitus beroperasi berdasarkan sebuah logika prakterk yang diatur berdasar sistem klasifikasi bawa sadar. (maskulin/ peminim, baik/buruk, moral/amoral, trendi/kuno dan lain-lain). Seorang dalam sebuah komunitas akan patuh dalam sebuah sistem dalam tata nilai yang dibangun, diproduksi karena menganggap ia adalah bagian dari sistem tersebut, dengan kata lain seorang anak muda dari kampong Makassar jika disadari konsep tentang palsafah sipakatau, sipakainga, sipakalabbiri dibanding konsep declaration of human right, meskipun subtansinya hamper sama. 

Karena moralitas bermain pada wilayah nalar, maka selayaknya Negara menyediakan ruang yang cukup bagi tradisi lokal dalam memainkan dalam membangun ruang kesadaran cultural literacy, sebuah ruang pengetahuan tentang sistem dalam berbagai konteks budaya. Tindakan atau apa yang secara actual dilakukan seseorang, merupakan bentukan dari dan sekaligus respon terhadap aturan-aturan dan konvensi-konvensi budaya. Seseorang akan berlaku dan bertindak sesuai logika praktek yang tersusun dalam tema generative dalam sebuah komunitas, misalnu term siri’, istilah ini bukanlah istilah yang tanpa makna dan kuasa, namun siri’ adalam skema alam bawa sadar yang dilakoni oleh komnitas etnis bigis Makassar dalam ruang logikanya sendiri dengan kata lain tradisi menjaga kehormatan, kejujuran, akan menjadi kebiasaan yang di kendalikan oleh alam bawa sadar tampa disuruh oleh Negara.

Persoalan moralitas dinegeri yang kita cintai haruslah ditangani secara bijak. Membangun karakter masyarakat bukanlah persoalan mudah, banyak hal yang perlu dilibatkan. Jadi persoalan moralitas tidak hanya diselesaikan dengan lembaran tes regulasi. Namun ada yang lebih perlu diserisi oleh pengambil kebijakan;

  •  Revitalisasi peran-peran kebudayan dengan member ruang yang seluas-luasnya terhadap tradisi lokal.
  • Regulasi yang dikeluarkan oleh Negara tetap mengadopsi tata nilai yang lahir dari tradisi masyarakat Indonesia, dengan demikian tradisi kita yang sarat dengan kearifan-kearifan lokal tidak lagi dianggap pemuas dahaga kaum turis manca Negara namun kearifan tersebut menjadi basis struktur kebijakan Negara.
  • Negara harus senang tiasa sadar dan waspada bahwa neoliberalisme bukan hanya bergerak dalam konteks imperialism ekonomi politik, tapi selalu dibarengi hegemoni pengetahuan dan kebudayaan, Apa lagi arti sebuah Negara ketika tradisinya musnah tinggal debu.
“Katakan Kebenaran Walaupun  Pahit”

Di Tulis Oleh : Ahmad Passallo

Jumat, 17 September 2010

GENERASI DAN PROBLEMATIKA LOKAL HINGGA NASIONAL

“Memang benar… tahta, harta,
Jabatan, karir, cinta dan popularitas
Membuat orang dipuji, dipuja dan disanjung…
Tapi untuk apa semua itu
Jika harus korbankan harga diri…
Sebab hidup tanpa harga diri
Adalah nama lain dari kematian
Dalam kehinaan…”


Zaman yang dijalani disetiap angkatan generasi memiliki peran penting dalam setiap pembentukan mental dan intelektual orang-orang yang bergelut didalamnya. ’’ Setiap generasi memiliki zamannya sendiri ’’. Begitulah ungkapan orang bijak, namun hal fundamental adalah bagaimana setiap generasi sadar dan bertanggung jawab pada zamannya. Angkatan 45 memang harus diakui sebagai generasi yang masih terbaik dari angkatan-angkatan setelahnya.


Krisis kausalitas generasi tentu menjadi perhatian prioritas kita saat ini. Oleh karna masa depan bangsa dan agama ditentukan oleh regenerasi yang disiapkan melanjutkan stapet kepemimpinan baik daerah maupun pusat. Bangsa ataupun Agama. Tetapi persoalan yang muncul adalah… apakah dengan fakta dan kenyataan yang bisa kita saksikan dimana-mana dengan keadaan generasi yang memprihatinkan dalam artian, mayoritas generasi tak terdidik secara baik dan benar. Kini tampak menjadi karakter dan warisan berkepanjangan tanpa pembinaan serius untuk memperbaikinya. Generasi hari ini tumbuh dan berkembang sebagai generasi yang Hedonis, pragmatis, Oportunis dan materialis. Jika pada kenyataan seperti ini kita sandarkan harapan besar untuk maju dimasa depan, akankah harapan itu menjadi kenyataan!!!?

Pemerintahpun tak kunjung memberi pembinaan dan media yang serius. Sekian banyak anak bangsa yang harus menjadi pengembala ternak, buruh bangunan bahkan menjadi TKI/TKW dimana-mana akibat dari himpitan ekonomi keluarga dan kemiskinan social. Apabila generasi-generasi dari tingkat daerah sampai nasional terus menerus terabaikan oleh pemerintah. Maka ini berarti Neraka telah disiapkan menjadi penderitaan permanen bagi rakyat Indonesia.

Kita bisa meriview pemilihan demi pemilihan Bupati, anggota dewan tingkat daerah dan pusat, gubernur dan presiden atau apapun namanya, mereka dating mengumbar janji dalam berbagai bentuknya, memutuskan rantai kemiskinan, pendidikan dan kesehatan gratis yang bermutu. Semua janji itu semuanya adalah untuk kesejahteraan rakyat. Namun faktanya rakyat tetap miskin, terbelakang dan terus mmenerus sengsara dibawah untaian segudang janji yang tak pernah jadi bukti. “ Dan tepatilah janjimu karena janji itu akan diminta pertenggung jawabannya “ begitulah tutur Al-Quran pada mereka yang masih beragama.

Begitu bahayanya tahta, harta, dan jabatan sampai banyak orang yang harus melakukan sesuatu yang ia tahu itu salah dan dosa besar. “ Kekuasaan jauh lebih nikmat dari seks “ begitulah ungkapan Michel Foulchoult maupun Antonio Gramsci. Sampai kekuasaan itu dibangun dengan KKN atau paling tidak disebut Pemerintahan Keluarga.

Di Tulis Oleh : Muh. Nasrun Jamal

REFLEKSI SEJARAH PERJUANGAN

Air matapun jatuh basahi bumi
Takkan sanggup hapuskan dosa
Takkan sanggup hapuskan sesal
Takkan sanggup hapuskan lara
Penyesalan bisa tak berarti
Karena waktu yang bengis telah pergi
Ingatan melukai hati
Hanya taubat pada Ilahi
Bahagia kembali diraih.

“ Hidup yang tak bermakna
adalah hidup yang tak layak dijalani ”
( SOCRATES )


Sedikit berkaca dan membaca ulang sejarah bangsa kita Indonesia ini, sejak 1908, 1928 samapai 1945 adalah masa paling pahit dan getir bagi bangsa Indonesia.Namun ternyata zaman penjajahan itu telah mendidik dan mampu melahirkan tokoh-tokoh sentral dalam perjuangan membeskan diri dari penindasan,penjajahan portugis,belanda hingga jepang.Kita kenal tokoh nasional-internasional Cokroaminoto,misbach,samaun,Tan malaka, soekarno,mohammad hatta,jenderal soedirman,colonel ahmad yani,syahrir, mohammad natsir dan tokoh-tokoh lainnya tampil menjadi icon dan pioneer perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia.Mereka juga bukan tidak punya keluarga sebagai tanggung jawab,bukan tidak bersentuhan dengan pendidikan barat dan bukan putera-puteri yang lahir dari dewa-dewi,mereka juga lahir dari rahim dari manusia biasa tetapi mereka berhasil mengukir dan menorehkan sejarah tak terlupakan bagi bangsa ini dan seluruh rakyat Indonesia.Anehnya saat ini mayoritas tokoh-tokoh bangsa yang muncul bukannya mencontohi para pendahulu kita,tapi seakan dan seolah amat nampak semangat juang itu telah dikubur dalam-dalam lalu mereka sibuk berebut kekuasaan atau bagi-bagi kekuasaan dan kekayaan yang dirampok atas nama pajak rakyat bahkan dengan banyak cara dan tak jarang agama dan rakyatpun dijual demi penuhi nafsu kuasa ekonomi dan politik. 



Virus kuasa ekonomi politik yang semakin tak terkendali di bangsa ini telah mengerbangkan segalanya yang sahulu kita anggap kemuliaan, agama, budaya, kegotongroyongan dan bahkan penipuan massal pun dilakukan lewat media yang dimainkkan oleh penguasa. setiap hari persoalan ini menjadi makanan dan minuman rakyat kita, rekayasa kasus korupsi, rekayasa hukum dan rekayasa social dipertontongkan lewat media dan dimanipulasi seakan kenyataan sesungguhnya pada hal lebih dari desai elit politik dalam komunikasi lobi dan diplomasi politik yang sesungguhnya adalah kenyataan palsu. Maka dari itu tampak sekali tak ada kasus para elit yang benar-benar terselesaikan dengan baik dan benar sebagaimana hokum yang berlaku, karna semua itu pada akhirnya hanya akan kompromi kepentingan dan tak lebih dari topeng-topeng yang menipu, sebab politik bagi penguasa adalah politik untuk kompromi.

Kita bisa melihat kasus G30S PKI, kasus-kasus orde baru agenda reformasi, century bank, Bibit dan Candra, sisminbakum dan kasus besar lainnya tak satu pun kasus selesai secara hukum melainkan berakhir dengan kompromi politik. Orde lama oleh bung karno bersama pemimpinn lainnya adalah pelajaran berharga bagi kita semua, Indonesia adalah bahkan ditakuti oleh blok barat pimpinan Amerika serikat maupun blok timur yang dipelopori Rusia, Cina dan Korut, ini membuktikan betapa kekuatan Indonesia yang terkonsolidasi bersama India, Mesir dan lainnya adalah kekuatan non blok yang aman ditakuti bahkan Indonesia dikenal sebagai salah satu macan dunia. Pada orde baru dibawah pimpinan presiden Soeharto kita masih terhitung sebagai macan Asia.

Bangsa Indonesia bukannya semakin maju tetapi semakin mundur baik di dalam maupun luar negeri. Kita bangsa Indonesia hanya melanggengkan penderitaan rakyat sekaligus bangsa yang dipandang sebelah mata bahkan bangsa serumpung Malaysia saja tdak menghitung kita yang jelas-jelas Negara yang pernah jauh dibawah kita. Sekarang refleksi tentang khazanah historis Indonesia mari kita jadikan pelajaran berharga dan terpenting untuk membangun bangsa ini sekarang, siapapun dan dimanapun.

Di Tulis Oleh : Muh. Nasrun Kamal