Sabtu, 26 Februari 2011

URGENSI KONSOLIDASI DAN KONSTRUKSI KESADARAN GENERASI DALAM MENAPAK MASA DEPAN BANTAENG YANG MAJU DAN BERMAMFAAT


Diujung Pandangan mataku.....
Dipuncak – Puncak Fikiranku....
Didasar Hati Nuraniku....
Dan Pada Denyut Nadi dan Nafasku....
“DIA” Berkata Padaku....
“Kamu Adalah Khalifah dan Abdillah” Bukan Budak Penguasa
(Petunjuk Bagi Mereka yang Beragama)


Akhir abad 21 ini adalah era ONE WORLD GOVERMENT bagi negara – negara maju, khususnya AS, Rusia, Perancis, Inggris, Cina, Jepang, Turky, India, dan sebagainya, begitun sebaliknya bagi engara dunia ketiga seperti Indonesia ini menjadi era yagn menuntut taruhan kejayaan atau kepunahan. Dan pandangan tekad.komitmen, sikap dan pilihan. Pilihan berbangsa sangat menentukan jaya-punahnya bangsa ini kedepan. Untuk menyederhanakannya study kita, mari kita lihat konteks Bantaeng dan selatan SULSEL saja.
Kabupaten Bantaeng dewasa ini merupakan mutiara sejarang yang tertimbung (Mudah – Mudahan bukan tertimbung Kotoran). Sebagaimana sejarah gowa mengakui bantaeng sebagai kerajaan bagian selatanyang tak pernah dijajah, bahkan Bantaeng sepanjang sejarah kerajaan sejak Bantayang telah dipimpin oleh 35 Raja meskipun ada yang memimpin/menjadi raja dua kali (salah satu perspektif sejarah yang dimulai dari 7 Kare’ dan lain lagi jika kita melihatnya sebelum itu). Tetapi tulisan ini tidak fokus menjelaskan sejarah tapi hikmah dan ibrah yang harus ditekankan adalah bahwa Bantaeng Butta toa yang berarti tanah/ bumi tua yang identik dengan kedewasaan, kematangan,kearifan, kebijaksanaan dan ppenuh dengan kesakralan sejarah sebagai khazanah kearifan lokal dalam spiritual, kepemimpinan dan kedipimpinan sebagaimana tertaung dalam sumpah pengangkatan raja oleh Kare’ Tujua. Bukan pengkhianatan, dusta, kebohongan, kriminal, sebab sumpah dalam sejarah kita harus dibayar mahal lahir dan bathin. Issu sebagai daerah yang proses politiknya dianggap mengerikan harusnya tidak lebih ditradisikan kembang hal-hal yang menunjukkan kearifan dan kebijaksanaan.
Generasi bantaeng idealnya harus lebih awal dipahamkan pada sejarahnya sebagai pijakan dasar berilmupengetahuan dan bukan malah mendistorsi dan mereduksi sejarah, apalagi sampai pada ketidakpahaman sejarah daerahnya idealnya lahir dari tradisi dan budayanya sendiri bukan karakter kloning yang direkayasa lewat tuntutan globalisasi dan modernisasi sebagai bapak ibu dari kapitalisme,neoliberalisme, civil society, HAM dan demokrasi kriminal yang penuh rekayasa elit global-nasional-regional hinnga ketingkat paling lokal. Sulsel yang secara umum memiliki budaya Sipassiriki, Sikapaccei, dan Sipakatau merupakan warisan leluhur yang harusnya dijaga,dipelihara, dan ditransformasi kedalam diri kita. Sedianya pendidikan formal harus mengakomodasi poin-poin tersebutagar generasi kita tidak menjadi generasi Plimplang, gamang dan keliru yang tau rumahnya orang lain tapi tidak tau rumahnya sendiri.
Kesadaran kita khususnya kaum muda akan urgensi budaya sebagai prasyarat lahirnya peradaban harus mampu terkonsolidasi pada tingkat tertinggi bahwa suatu negara-bangsa yagn kuat, maju dan memuncaki zaman, semuanya berdasar pada budaya, pendidikan,ekonomi, dalam bingkai dan nafas inspirasi yang dipersiapkan dengan baik dan benar lewat generasi suatu bangsa. Begitupun bantaeng tercinta, tak bisa hanya terfokus pada agenda jangka pendek dan menengah 5 tahunan tetapi harus berani membuka cakrawala berfikir yang luas menyeluruh membaca masa depan, lalu mengambil langkah-langkah pasti mempersiapkan segalanya.
Politik tak boleh terus menerus menjarah dan menjustifikasi budaya, pendidikan, ekonomi apalagi agama. Begitupun sikap daripada tokoh dan elit dibantaeng khususnya di legislatif dan eksekutif agar tidak menjadikan perbedaan golongan, mashab, aliran, parpol dan sejumlah organisasi kemasyarakatan dan kemahasiswaan yang menjadi medium generasi muda aktualisasi potensi, mendiskusikan dan merancang bangun masa depan butta toa yang lebih baik, apalagi jika sampai pada titik membenturkan setiap perbedaan karena harus disadari bahwa tak selamanya perbedaan itu menjadi pembeda satu dengan yang lain.
Membangun kesadaran kaum muda tentu tidak bisa dilihat dari satu dua sisi saja akan tetapi dari semua sisi kehidupannyabaik sejarah, budaya, pendidikan, ekonomi, politik, keluarga, dan apalagi agama yang harus menjadi nafas hidupnya. Memang tidak mudah meninggalkan kepentingan, apalagi yang menjanjikan dan memberi rasa nikmatnya kekuasaan, akan tetapi sampai kapan hukum rimba terus menjarah daerah tercinta kita, dan ada masa dan waktu dimana rakyat memahami segalanya yang bisa menjadi Blunder atau bumeran bagi kesatuan dan persatuan kita membangun bantaeng, maka dari itu harapan membangun baik fisik maupun nonfisik harus dikerjakkan bersama-sama dan tidak perlu menggunakan politik belah bambu satu diangkat satu diinjak dan tidak perlu memaksa keberagaman dalam bahsa apapun termasuk istilah koalisi dan oposisi, perbedaan persfektif sejarah biarkan berdialegtika untuk saling melengkapidan apapun itu cukuplah politik untuk relnya sendiri tidak perlu mempolitisasi yang lain.
Yang paling penting adalah jangan biarkan generasi kita terjerumus dalam tradisi apatis, pesimis, oportunis, pragmatis, hedonis, dan materialis karena generasilah wajah masa depan bangsa dan agama.
Semoga kita semua bersatu padu berjuang untuk kkebenaran kejujuran dan keadilan sebagai generasi yang sadar dan sekaligus manifestasi dari cinta dan rindu kita kepada Allah dan Rasullullah.


Karya : Muh. Nasrun Jamal